Serba-serbi Masyarakat Kolonial Batavia
Judul: Batavia, Masyarakat Kolonial Abad XVII
Penulis: Henderik E Niemeijer
Penerbit: Masup Jakarta
Terbit: Juli, 2012
Halaman:
Harga: Rp. 180.000 (hard cover)
Memahami Jakarta pada masa kolonial yang kala itu masih disebut Batavia memang menarik. Pasalnya, dari situlah kita dapat melihat dimensi-dimensi sosiologis-politis yang kemudian membentuk Jakarta masa kini. Buku ini rasanya adalah salah satu referensi yang dapat menambah derajat pemahaman kita mengenai dimensi-dimensi tersebut.
Pada
bagian awal buku ini pembaca mungkin akan terperangah mengetahui bahwa
Batavia pada abad 17 ternyata tidak lebih dari sebuah kota perbudakan.
Kala itu perbudakan mendapat tempat yang subur karena memiliki payung
legalitas dari pemerintah kolonial. Penyebabnya pemerintah memiliki
kepentingan untuk menempatkan pekerja murah untuk mengembangkan Batavia
menjadi kota dagang.
Akibatnya
budak tidak hanya didatangkan dari berbagai pulau di luar Jawa seperti
Maluku, Sulawesi atupun Bali, melainkan juga dari luar negeri seperti
India, Srilanka, hingga Filipina. Para budak ini kemudian
diperjualbelikan oleh tuan-tuan mereka. Di kemudian hari kedatangan para
budak di batavia memunculkan masalah kemasyarakatan tersendiri di
Batavia, mulai dari pergundikan, kriminal, hingga kekerasan (hal.
31-57).
Kemunculan budak dan pendatang ke Batavia telah menjadikan kota ini sebuah kuali adukan (melting pot).
Namun itu pun memunculkan potensi gesekan. Kehadiran kelompok etnis
Cina misalnya, telah memicu konflik tersendiri. Salah satu yang tercatat
dalam buku ini adalah kebiasaan berjudi yang kerap berujung pada
keributan. Akibatya pemerintah harus membatasi perjudian.
Namun,
situasinya menjadi dilematis. Pasalnya, di satu sisi, pemerintah yang
berkuasa memperoleh pendapatan dari perjudian tersebut. Setiap rumah
judi ataupun pesta-pesta yang menyelenggarakan perjudian, diharuskan
menyerahkan semacam pajak kepada pemerintah Batavia.
Masalah
lain yang juga sering muncul ke permukaan pada abad 17 adalah konflik
antar pemeluk agama. Hal ini terjadi antara penganut Kristen dan
Katolik. Kala itu para pendeta Kristen terang-terangan menolak misi yang
dijalankan oleh pemuka agama Katolik. (hal. 239-254). Bahkan tanpa
segan mereka menganggap ibadah ataupun ritus yang dipimpin oleh pemuka
Katolik dianggap ilegal.
Hal
yang harus dicatat mengenai hubungan antar pemeluk agama pada masa
kolonial adalah kenyataan Islam yang terus berkembang dan memegang
peranan penting. Bahkan kemudian pemerintah Hindia Belanda lebih membuka
kesempatan untuk perkembangan Islam ketimbang agama Katolik.
Pada
halaman 217-220 bahkan disampaikan bahwa Islam tidak dianggap sebagai
�bahaya�, sebaliknya banyak ulama Islam yang dianggap dapat bekerja sama
dengan pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa Islam memiliki posisi
khusus.
Hal
berbeda dialami oleh praktik-praktik relijius yang dilakukan oleh etnis
Cina. Dalam buku ini praktik keagamaan yang dilakukan oleh etnis Cina
cenderung dianggap membuat keributan. Tidak mengherankan jika pemerintah
perlu untuk melarang kegiatan tersebut.
Buku
ini menarik untuk memahahami kehidupan masyarakat kolonial Batavia.
Sayangnya, catatan yang banyak didasarkan pada dokumen administrasi
pemerintahan ini, tidak diformulasi dengan cara yang lebih cair. Padahal
cara yang lebih cair akan membuat pembaca lebih asyik mengikuti
�perjalanan ke masa lalu� ini.
Simak saja buku Semerbak Bunga di Bandung Raya
(1998) yang ditulis oleh Haryoto Kunto. Banyak cerita dan fakta
tentang Kota Bandung yang didasarkan pada literatur masa lalu, namun
disampaikan dengan cara yang �renyah�, menawan , dengan bumbu-bumbu yang
jenaka di sana-sini. Akhirnya, jadilah sebuah buku yang menarik untuk
dinikmati.***
Source : ulas-buku blog.
Source : ulas-buku blog.