Kisah Jurnalis di Balik Berita
Judul: Jurnalis Berkisah
Penulis: Yus Aryanto
Penerbit: Metagraf
Tahun: 2012
Tebal: 227 halaman
Harga: Rp. 47.000
Wartawan
adalah profesi yang memiliki risiko tinggi. Intimidasi serta ancaman
kekerasan adalah hal yang mengintipnya setiap saat. Hanya idealisme dan
keterpanggilan yang membuat seorang juru berita bertahan dengan profesi
itu.
Menjabarkan
semua itu dalam sebuah manuskrip yang teoritis hanya akan menghasilkan
sebuah pemahaman yang kering. Berbeda jika hal itu dideskripsikan
ataupun dituturkan si juru berita.
Itulah
yang membuat buku ini menarik disimak sebagai sebuah teks yang
menggambarkan mozaik kecil jagat jurnalistik, khususnya di Indonesia.
Dari sini pembaca tidak hanya mencerap ikhwal kerja jurnalistik,
melainkan juga berbagai dinamika yang terjadi di dalamnya.
Buku
yang menceritakan kembali pengalaman para wartawan memang bukan barang
baru. Seperti dikutip dalam pengantar buku ini, pernah terbit buku Jagat Wartawan Indonesia yang ditulis oleh Soebagijo IN di tahun 1980-an. Pernah juga terbit Pistol dan Pembalut Wanita yang merupakan antologi pengalaman wartawan media cetak yang bertugas di Bandung di tahun 2007.
Namun yang membedakan Jurnalis Berkisah
dengan buku-buku tersebut ialah disertakannya satu ataupun dua "kasus",
berkenaan dengan profesi yang mereka jalani. Inilah yang membuat cerita
mengenai para wartawan ini semakin bernas.
Misalnya
saja Mauluddin Anwar yang terbang ke Lebanon untuk meliput perang yang
terjadi di Beirut. Petikan kisah mereka saat berada di medan pertempuran
akan menjadi hal menarik tersendiri bagi pembaca.
Memakai
sudut pandang para wartawan dari berbagai jenis media, buku ini
bagaikan sebuah representasi dunia media. Lihat saja, di dalamnya ada
penuturan Najwa Shihab yang mewakili televisi berita, Telni Rusmitantri
yang bergelut di tabloid hiburan, Tosca Santoso yang malang melintang di
jurnalisme radio, Erwin Arnada yang pernah memimpin Palyaboy Indonesia,
ataupun Linda Christanty yang membangun sindikasi Aceh News Service.
Satu hal yang mengikat kesepuluh jurnalis dalam buku ini, yakni kesetiaan pada profesi dan kebenaran. Memang
ada petikan kisah-kisah heroik dari para wartawan tersebut. Namun itu
bukan titik sentral, namun sebagai pintu masuk pada persoalan yang lebih
besar.
Memang,
juru berita adalah manusia biasa. Mereka memiliki ketakutan, mereka
sempat gentar, pernah terpojokkan. Sebut saja kutipan kisah Linda
Christanty yang sempat merasa ragu ketika mendapat tawaran untuk untuk
tinggal di Aceh. Memang, Aceh sebagai medan konflik bukanlah tempat yang
dimimpikan banyak orang. Tapi toh semua itu ditepisnya. Kepedulianlah
yang membawanya terbang ke Aceh.
Benar
saja, ketika tiba di Serambi Mekkah, banyak hal yang dapat dilakukan
oleh Linda. Memberikan penyadaran melalui berbagai medium adalah hal
yang diupayakannnya. Termasuk memberdayakan banyak orang muda untuk
berbuat lebih banyak bagi Aceh lewat dunia jurnalistik.
Lewat
buku ini pembaca tidak hanya akan menjumpai romantisme dunia
jurnalistik, melainkan kompleksnya dunia jurnalistik terutama ketika ia
berbenturan dengan berbagai kepentingan. Di sini neralitas dan
keberpihakan harus mencari bentuknya kembali.***