
Etnis Tionghoa dan Keindonesiaan
Eksistensi etnis Tionghoa memiliki tempat tersendiri dalam sejarah bangsa Indonesia. Mereka tidak hanya memiliki andil dalam pertumbuhan dan perkembangan masyarakat, melainkan juga berkontribusi bagi pergerakan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan.
Pertanyaannya,
bagaimana eksistensi etnis Tionghoa dalam konteks kekinian? Pertanyaan
ini diajukan karena etnis Tionghoa masih memiliki identitas kultural
yang tidak mungkin lenyap begitu saja.
Seperti
halnya identitas Jawa yang tidak bakal hilang ketika seorang Jawa
melebur dalam kenyataan Indonesia. Sama halnya dengan identitas Padang
yang tidak bakal hilang ketika orang Padang menyatakan diri menjadi anak
sah dari Indonesia.
Artinya,
memperbincangkan keberadaan etnis Tionghoa tetap menarik meskipun
sesungguhnya dalam entitas Indonesia, tidak ada lagi identitas mayoritas
ataupun minoritas,yang ada hanyalah identitas Indonesia.
Buku
mencoba untuk memberikan sebuah gambaran umum mengenai kondisi
masyarakat Tionghoa kontemporer. Tidak hanya terbatas pada etnis
Tionghoa yang berada di perkotaan, namun juga keturunan Tionghoa yang
berada di pinggiran, misalnya saja mereka yang disebut dengan Cinta
Benteng yang bermukim di Tangerang, Banten.
Keberadaan
warga Cina Benteng mematahkan anggapan umum bahwa keturunan Tionghoa
selalu hidup berkecukupan. Warga Cinta Benteng justru sebaliknya. Mereka
tidak berbeda dengan warga marjilan pada umumnya yang selalu
tersisihkan, terancam penggusuran, bahkan sering menerima
tindakan-tindakan diskriminatif.
Konteksnya
tentu bukan soal tuntutan privelese bagi keturunan etnis Tionghoa,
namun tuntutan untuk dihargai, diperlakukan, dan diberikan hak yang sama
seperti warga Indonesia lainnya. Toh pada dasarnya mereka sudah
turun-temurun berada di Indonesia, menghirup udara Indonesia, dan bahkan
melalukan kewajiban sebagai warga negara pada umumnya.
Buku
ini juga seperti ingin memperlihatkan betapa tidak ada alasan untuk
mempraktikkan diskriminasi terhadap masyarakat keturunan Tionghoa.
Apalagi sejak jauh-jauh hari mereka mencoba mempraktikkan akulturasi.
Perlakukan diskriminatif hanya akan membuat jurang yang kian menganga
antar etnis.
Tidak
hanya memotret keberadaan masyarakat keturunan Tionghoa di Jakarta,
buku ini juga mengungkapkan sisi kehidpan etnis Tionghoa di wilayah lain
di di Indonesia, seperti di Semarang, Yogyakarta, Simgkawang, Padang
hingga Aceh.
Dari
Semarang buku ini melaporkan Pecinan Semarang yang tidak pernah mati.
Salah satunya adalah Jalan Semawis yang selalu diramaikan oleh
gerai-gerai kuliner di malam hari. Keramaiannya memuncak terutama pada
malam minggu.
Jalan
Semawis bukan sekadar tempat wisata kuliner, melainkan juga simbol
geliat keguyuban masyarakat keturunan Tionghoa di kota itu. Seperti
ingin diperlihatkan bahwa masyarakat Tionghoa masih hidup dan tetap
dapat hidup berdampingan dengan warga Semarang lainnya.
Pendeknya
buku ini ingin menunjukkan serbaneka kehidupan masyarkat keturunan
Tionghoa di Indonesia. Meskipun tidak dapat mengungkapnya secara
komprehensif, namun dari sini kita dapat terbuka ruang-ruang perspektif
untuk melihat bagaimana masa depan masyarakat keturunan Tionghoa dan
identitas keindonesiaan.***
Penulis: Iwan Santosa
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tebal: xx+ 316 halaman
Tebit: Juni, 2012
Source : ulas-buku blog.